Pengertian
Gender
§ Segala
sesuatu yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa
berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain.
§ Pembagian
peran sosial atau tanggung jawab sosial, antara laki-laki dan perempuan.
§ Dapat
berubah dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lain, tidak mengenal
etnik, suku, bangsa, agama, kelas ekonomi, pendidikan, usia.
§ Pembagian
peran ini menjadi kebiasaan, tradisi, budaya yang dijalankan secara terus
menerus yang pada akhirnya dipercaya sebagai sebuah kebenaran dan kemudian
dikukuhkan dalam aturan / kebijakan.
Gender tidak sama dengan sex, meskipun
secara bahasa keduanya bisa diartikan sama, yakni jenis kelamin. Dalam diskusi
gender dasar, kita sudah jauh membahas perbedaan keduanya. Berikut gambaran singkat
terkait gender identity.
Sejarah
singkat, awal gerakan perempuan
Awal gerakan
perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an, tokoh-tokoh perempuan ketika itu
antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft. Ketika
itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan
perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya
gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana
perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Ada sebuah film yang
mengkisahkan tentang masa perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak dalam
pemilu yakni “Iron Jawed Angel”.
Gerakan
Perempuan di Indonesia
Diakhir
abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata
melawan penjajah. Awalnya hanya membantu suami, tetapi kemudian sungguh-sungguh
menjadi pemimpin pasukan. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Chistina Martha
Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Monginsidi, serta
Roro Gusik bersama Surapati. Lalu ada Wolanda Maramis dan Nyi Ageng Serang.
Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi kesadaran.
Namun yang menarik adalah kebanyakan dari para perempuan ini adalah juga kaum
bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibandingkan para
“kawula” yang bertelanjang dada itu dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami,
karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot
oleh kompeni. Tak perlu masuk sekolah belanda untuk membangun gerakan nasional,
para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, dan membayar nyawanya ditiang
gantungan seperti Tiahahu.
Kemudian kartini
hadir dengan literatur yang memuat tulisan-tulisan/ surat yang menyatakan
bahwa, kartini ingin meningkatkan pendidikan perempuan, baik dari kalangan
miskin maupun atas, serta reformasi sistem perkawinan, yakni menolak poligami
yang dianggap merendahkan perempuan. Namun dalam buku ‘Panggil Aku Kartini Saja’
yang ditulis oleh Pramoedya tergambar bahwa gagasan dan cita-cita Kartini lebih
dalam. Lebih tinggi dan lebih luas daripada sekedar mencerdaskan kaum perempuan
dan memperjuangkan monogami (meskipun hal ini sentral dari praktek perjuangan).
Gerakan perempuan saat ini
Isu
kesetaraan gender di era saat tidak lagi menjadi hal yang membutuhkan
perjuangan yang berdarah-darah seperti masa dimana perempuan masih dipandang
sebelah. Hampir disemua sisi perempuan telah mendapatkan tempat, termasuk dalam
hal politik. Perempuan telah mendapatkan 30% untuk mengisi kuota di kursi
pemerintahan, disisi lain hal ini seolah menjadi keprihatinan tersendiri untuk
perempuan, Karena ternyata perempuan hanya diberi porsi 30% walapun ternyata
hal tersebut tidak berjalan efektif. Tidak banyak perempuan yang mau mengambil
posisi tersebut, porsi tersebut tidak lantas menjadi ajang perempuan untuk
melakukan pembuktian bahwa perempuan berhak mendapatkan lebih dari itu. Hal
tersebut seolah cambuk tersendiri bahwa ternyata kesetaraan tidak selalu bisa
dilekatkan untuk perempuan manakala perempuan sudah asyik dengan budaya yang di
bawa nenek moyang. Setara bukan perkara posisi melainkan kesesuaian peran
social yang dikomunikasikan dan tidak dipaksakan, sehingga kemudian tidak ada
pihak yang merasa dirugikan.
Tujuan belajar Gender
Berdaya tidak
lantas diartikan lebih daripada laki-laki, setara juga tidak selalu semua harus
sama. Ada porsi dimana laki-laki dan perempuan bisa disaingkan dan disandingkan
dengan porsi yang sama, pun ada hal yang ketika laki-laki dan perempuan
disejajarkan bukan lagi kesetaraan yang dipakai, melaikan keadilan. Misal:
dalam hal mengangkat-angkat beban yang berat, terkadang kita ‘ngawur’ dan
dengan enteng bilang katanya kesetaraan, kalau laki-laki angkat-angkat
perempuan juga harus angkat-angkat. Tidak semua hal bisa disamakan, ada hal-hal
yang terkait kordati yang menjadi pertimbangan tersendiri. Perempuan memiliki
organ reproduksi yang rentan yang juga harus dijaga.. itulah alasan kita
belajar gender, yakni untuk belajar saling menghargai dan menghormati, saling
mengisi dan bukan saling mendominasi.
Semoga bermanfaat sekaligus menambah
pengetahuan kita
-
Hikmah Bafagih
dalam tulisannya Sejarah gerakan Perempuan, Juli 2008
-
Annelies dalam
tulisannya sejarah gerakan perempuan Indonesia sebelum kemerdekaan
-
Maesur Zaky, MA.
Konsep gender, disampaikan dalam Youth training interfaith tahun 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar