Judul Buku :
Islam Historis
Pengarang :
Kamaruzzaman Bustaman Ahmad
Penerbit :
Galang Press
Tebal Halaman : 402 Halaman
Tahun Terbit :
Cetakan Pertama, April 2002
Resentator :
Nurul Intani
NIM : 63411014
Pembelajaran sejarah kadang memang menjadi hal yang menjenuhkan bagi kita semua. Diakui atau tidak, walapun pembelajaran sejarah
telah diganti dengan berbagai macam
metode supaya tidak menjadi pelajaran yang membosankan, namun tetap saja,
belajar sejarah tetap sulit untuk cepat diterima di masyarakat kita saat ini.
Dengan sistem yang terkadang hanya menghafalkan apa yang terjadi pada jaman
dahulu, membuat mereka jadi enggan karena harus menghafalkannya setiap saat dan
itulah yang membuat banyak kalangan merasa jenuh belajar sejarah.
Ternyata bila kita kaji secara mendalam, ini terjadi lantaran
pembelajran sejarah yang kita alami saat ini belum pada taraf bagaimana kita
bisa belajar dari sejarah tersebut. Akibatnya hanya pengetahuan yang monoton
dan tanpa perkembangan dalam pola pikir. Mestinya ini juga akan terjadi dalam
mempelajari Islam lewat sejarah, bila kita masik terpatok pada pengetahuan
sejarah yang harus kita ketahui, tanpa mencari nilai dari sejarah terbut.
Untuk itu, dari buku ini kita akan disuguhi bagaimana memahami Islam
dari nilai sejarahnya. Namun begitu,
pada bab XI ini hanya akan melihat sejarah perkembangan hukum di Indonesia yang
kemudian akan dikhususnya terhadap hukum Islam di Aceh. Tulisan ini juga
didasari pada penulisan tentang awal perkembangan hukum di Indonesia sekarang
ini terbilang masih jarang. Hal ini dikarenakan kajian awal hukum di Indonesia
dianggap selesai setelah ada pengakuan bahwa hukum Islam yang berada di
Indonesia adalah mazdhab Syafi’i, dan dampak dari hal tersebut mengakibatkan
telaah perkembangan awal hukum di Indonesia menjadi sangat minim. Dan
implikasinya hampir tidak ditemui kajian yang khusus membahas perkembangan awal
hukum Islam di Indonesia.
Sebelumnya, mari kita flash back awal kedatangan Islam ke
Indonesia, menurut asal kedatangannya, ada beberapa tempat asal kedatangan
Islam ke Indonesia. Pertama, asal mula kedatangan Islam adalah langsung
dari Arab, teori ini dimunculkan oleh Sir John Crowfort. Asa teori ini karena
muslimin ala Melayu berpegang dengan Mazdhab Syafi’i yang lahir dari
semenanjung tanah Arab. Teori ini juga didukung oleh Azyumardi Azra yang
mengatakan bahwa Islam dibawa langsung dari Arabia. Dia berkesimpulan bahwa
dahwa Islam datang dari gugusan pulau-pulau Melayu melalui laut India dan
China. Kedua, Islam datang dari India, teori ini dikemukakan oleh C.
Snock Hurgronje. Sedangkan yang ketiga, Islam datang dari Bengal, Keempat,Islam
datang dari China dan yang kelima, Islam datang dari Mesir. Pendapat ini
dikemukakan oleh Keijer, asas teori ini adalah pertimbangan kesamaan
kepemmelukan penduduk muslim dikedua Wilayah itu bermazhab Syafi’i.
Dari lima teori di atas mengaitkan kedatangan Islam dengan perkembangan
mazhab dalam hukum Islam. Namun dari kelima teori tersebut hanya dua yang
diterima oleh para ahli, yaitu Arab dan Juga Mesir. Namun pada intinya Islam
datang ke Indonesia melalui jalur maritim dan jalur darat yang dibawa oleh para
penyiar Islam daari Timur Tengah. Mereka datang dengan berbagai tujuan, ada
yang sengaja merantau, berdagang, mencari pengaruh dalam tarikat tasawuf dan
lain sebagainya. Namun demikian, pada akhirnya banyak aliran-aliran hukum Islam
atau mazhab yang kemudian berkembang di Indonesia khususnya di Aceh. Di kota ini
banyak aliran-aliran yang berkembang, seperti Syi’ah, maxhab Syafi’i dan mazhab
Hanafi.
Pengaruh mazhab hanafi terlihat pada Aceh tentang hal dendam
turun-temuruun dalam pembunuhan dan perkawinan perawan. Dalam masyarakat
masyarakat Aceh, pengaruh hukum Islam dalam peranan adat sangat berkembang di
sana. Ini terlihat talah berjalannya hukum Islam, namun dalam menjalankannya
msih saja memenuhi hambatan-hambatan sehingga terjadi banyak perselisihan dan
akhirnya memunculkan paham-paham baru. Seperti Syi’ah, namun aliran ini tidak
bertahan lama di Aceh, yaitu berahir sejak kerajaan Perleuk. Untuk itu, dalam
penerapan hukum Islam, aliran ini tidak terlalui berpengaruh.
Peran Wanita Dalam Pembangunan
Akhir-akhir ini diskursus tentang posisi wanita merupakan kajian yang
masih hangat untuk diperbincangkan. Terlebih setelah hukum Islam yang berjalan
di Aceh diberlakukan karena banyak kalangan yang beranggapan bahwa Wanita dalam
Islam merupakan kaum-kaum termarjinalkan. Wanita tidak mampu berbuat banyak
ketika masuk dalam dunia laki-laki, seperti berpolitik dan lain sebagainya.
Sebagai seorang wanita, penulis melihat bahwa selama ini kajian gender
yang berlangsung di Indonesia hanya sebatas wacana. Artinya pengaplikasinnya
sama sekali belum nampak. Untuk itu, saya akan mencoba memaparkan apa yang
terdapat dalam buku ini tentang peran wanita khususnya di Aceh dalam
pengaruhnya terhadap kerajaan Aceh pada jaman dahulu. Hal ini bertujuan untuk
bisa memberikan refleksi bagi kaum wanita di Indonesia supaya nantinya bisa
mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang telah dilakukan oleh
wanita-wanita di Aceh.
Kedudukan wanita di Aceh pada abad ke-17 telah memperlihatkan pada
dunia bahwa daerah ini merupakan salah satu kerajaan yang membolehkan wanita
untuk memimpin kerajaan. Ini ditandai ada empat wanita yang sempat menjadi
seorang pemimpin kerajaan Aceh Dar al Salam, yaitu Sri al SulthonahTajul al
Alam Syafi’at, Sri as Sulthonah Nur al Alam Naqiyat, Sri Sulthonah Zaqizzat al
Din Syah Johan dan Solthonah Keumalat al Din Johan.
Dalam pengangkatannya juga hampir sama yang terjadi di Indonesia ketika
dipimpin oleh seorang presiden wanita. Namun berbeda yang terjadi di Indonesia,
pada saat kerajaan Aceh dipimpin oleh seorang wanita, kerajaan ini mengalami
perkembangan yang cukup menggembirakan. Selain itu, peran wanita juga sangat
banyak karena pada saat itu banyak wanita yang menjadi wakil rakyat di sana.
Tak berhenti sampai di situ, peran wanita juga tidak hanya duduk sebagai
perlemen pemerintah saja, namun ada juga yang bahkan menjadi panglima perang.
Dia adalah Laksamana Keumalahayati, dia merupakan wanita pertama yang duduk di
tingkat elit angkatan bersenjata. Dia menjadi laksamana kapal laut kerajaan
Aceh.
Untuk itu, sejarah di Aceh sudah cukup untuk merenungkan kembali bangsa
Indonesia, bahwa wanita tidak akan menjadi penghalang untuk memimpin sebuah
negara. Karena semua manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan msing-masing. Ini
sekaligus menampik dugaan bahwa wanita sebaiknya cukup berperan di dalam rumah
saja. Tetapi bukankah akan lebih baik bila wanita juga mampu berkiprah di luar
rumah.
Oleh karena itu, dukungan dari setiap kalangan sangat diperlukan, agar
tidak terjadi deskriminasi yang terus berkepanjangan antara wanita dan
laki-laki. Selain itu, peran kaum agamawan juga sangat diperlukan dalam
mendukung waca tersebut sebagaimana yang terjadi di Aceh beberapa tahun silam.
Perjuangan Bangsa Aceh
Ada tiga hal yang menjadi pertanyaan tantang sejarah, perjuangan dan
bangsa Aceh. Tiga hal tersebut memang membutuhkan waktu yanglama untuk mengkaji
atau mendiskusikannya. Sebab, kajian tantang Sejarah Aceh juga telah abnyak
ditulis sendiri oleh orang Aceh. Para penulis tersebut seperti Ibrahim Alfian,
Lee Kam Hing, C. Snouck Hurgronje dan seterusnya.
Karya-karya di atas tentunya sudah pernah dibaca oleh banyak orang ,
karena itu untuk menjelaskan sejarah perjuangan Aceh, karya yang penulis
kemukakan cukup membantu dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Aceh. Untuk
itu kesadaran sejarah sangat dibutuhkan dimasa yang akan datang terutama bagi
generasi muda.
Dalam konteks diatas Taufik Abdulah menyatakanbahwa sejarah mempunyai
arti ganda: Sejarah sebagai pengalaman empiris dan sebagai peristiwa penting
yang dilalui; sejarah sebagai bagian dari kesadaran ketika pengalaman itu telah
diberi makna. Artinya, dari pengalaman empiris tersebut berbagai pesan dan
pelajaran serta kebijaksanaan telah diamnbil. Karena itu, Asvi Warman Adam
berkesimpulan tentang fungsi sosial politik dari sejarah tidak sama pada seluruh
masyarakat didunia. Ada yang berfungsi untuk mengkonsolidasikan persatuan dan
kesatuan bangsa, ada pula yang bertujuan untuk menemukan jati diri suatu bangsa
mencari “kebenaran” mengenai masa lampau, serta ada juga yang berperan untuk
mencerdaskan warga negara.
Untuk itu Aceh telah membuktikan pada dunia bahwa bangsa Aceh
telah berhasil dalam berbagai bidang
terutama dalam bidang keagamaan, politik, ilmu pengetahuan. Hal diatas tidak
lepas dari peran agama yang sangat dominan didaerah itu, karena bagaimanapun
juga peran agama sangat menentukan dalam berbagai bidang.
Kita dapat mengambil beberapa manfaat dn pelajaran terhadap apa yang
telah dipaparkan diatas. Petama perjuangan bangsa Aceh merupakan tugas semua rakyat Aceh, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, sekat perbedaan
antara mereka seharusnya mulai dikikis. Dengan cara demikian kajian sejarah
diatas dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan perjuangan. Kedua, bentuk
perjuangan dengan kesadaran sejarah adalah perjuangan yang menyeluruh. Artinya,
perjuangan bangsa Aceh harus dilakukan secara kolektif tanpa adanya
penggembosan atau penghianatan. Jika sejarah membuktikan bahwa Aceh mampu
mengusir penjajah, mengapa diera modern
mereka tidak mampu berbuat demikian. Dengan kata lain perjuangan bangsa Aceh
harus didefinisikan ulang, perjuangan bangsa Aceh untuk golongan, kalangan,
atau demi tanah rencong. Jika demi golongan maka sampai kapanpun tidak akan
berhasil, namun jika demi tanah pertiwi Aceh, maka InsyaAllah bantuan
akan datang seperti perjuangan bangsa Aceh dulu.
Khusus bagi generasi muda adalah bagaimana mempersiapkan Aceh dimasa
depan, bukan malah terjebak dalam permasalahan politik yang tidak jelas. Oleh
karena itu pendidikan merupakan bagian penting yang tidak bisa ditawar lagi
untuk menuju cita-cita tersebut.
Penerapan Syari’ah Islam Di Aceh
Salah satu upaya penyelesaian
konflik di Aceh adalah dengan pemberlakuan sayri’ah islam sebagaimana yang
telah dilakukan pemerintah Indonesia. Ini ditandai dengan diimplementasikan
dalam UU RI no 44 th 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan profinsi daerah
Aceh, yang kemudian di terjemahkan lewat peraturan daerah Istimewa Aceh no 5 th
2000 tentang pelaksanaan syari’ah islam.
Dalam pelaksanaannya syari’ah islam
ternyata tidak menemui jalan mulus sesuai yang diharapkan pemerintah Aceh.
Banyak yang menentang tentang pemberlakuan syari’ah islam di Aceh dan harus
dikaji ulang. Sebenarnya hal ini merupakan hal yag biasa terjadi dalam
pemberlakuan sebuah ide seperti dulu pada masa Rosul. Pada masa Rosul para
sahabat berselisih tentang syari’ah islam, dalam hal ini ada dua aliran. Aliran
yang pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan
menjelaskan makna Al-Qur’an dipegang oleh Ahl Al-bait, sedangkan kelompok yang
kedua beranggapan bahwa tidak ada orang tertentu yang ditunjuk oleh Rosul untuk
menafsirkan dan menetapkan perintah Illahi.
Namun setelah lama diberlakukan,
akhirnya syariah Islam menjadi berjalan labih baik. Hal ini juga sesuai dengan
apa yang diharapkan pemerintah sebelumnya. Yaitu, konflik Aceh menjadi sedikit
demi sedikit tertangani. Dari beberapa fakta sejarah di atas dapat kita
simpulkan bahwa Islam tidak lagi menjadi Agama yang menakutkan (Islam fobia),
melainkan dapat menjadi penyambung kemaslahatan umat. Maka dari itu, memahami
Islam dengan pendekatan sejarah merupakan sebuah keharusan. Karena dari
sejarahlah Islam membuktikan bahwa agama ini merupakan agama yang lebih baik.
Selain
itu, ada hal yang dapat kita ambil dari apa yang terkandung dalam buku ini,
yaitu bagaimana kita bisa merenungkan kembali tentang penerapan hukum Islam di
Indonesia. Setelah beberapa tahun silam dan bahkan sampai sekarang masih saja
terjadi penolakan terhadap pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Namun setidaknya
dari apa yang terjadi di Aceh dan Indonesia sebelumnya yang telah berhasil
menerapkan hukum Islam., kita harus mempetimbangkan lagi apakah hukum Islam
layak atau tidak diberlakukan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar