Minggu, 19 Mei 2013

Gender II

Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan tertentu. Yang kami inginkan sederhana, yakni: mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan (Sarah Grimke, 1837)

Pengertian Gender
§     Segala sesuatu yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain.
§        Pembagian peran sosial atau tanggung jawab sosial, antara laki-laki dan perempuan.
§    Dapat berubah dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lain, tidak mengenal etnik, suku, bangsa, agama, kelas ekonomi, pendidikan, usia.
§       Pembagian peran ini menjadi kebiasaan, tradisi, budaya yang dijalankan secara terus menerus yang pada akhirnya dipercaya sebagai sebuah kebenaran dan kemudian dikukuhkan dalam aturan / kebijakan.
Gender tidak sama dengan sex, meskipun secara bahasa keduanya bisa diartikan sama, yakni jenis kelamin. Dalam diskusi gender dasar, kita sudah jauh membahas perbedaan keduanya. Berikut gambaran singkat terkait gender identity.


Sejarah singkat, awal gerakan perempuan
Awal gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an, tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft. Ketika itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Ada sebuah film yang mengkisahkan tentang masa perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak dalam pemilu yakni “Iron Jawed Angel”.

Gerakan Perempuan di Indonesia
            Diakhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Awalnya hanya membantu suami, tetapi kemudian sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukan. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Chistina Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Surapati. Lalu ada Wolanda Maramis dan Nyi Ageng Serang. Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibandingkan para “kawula” yang bertelanjang dada itu dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh kompeni. Tak perlu masuk sekolah belanda untuk membangun gerakan nasional, para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, dan membayar nyawanya ditiang gantungan seperti Tiahahu.
Kemudian kartini hadir dengan literatur yang memuat tulisan-tulisan/ surat yang menyatakan bahwa, kartini ingin meningkatkan pendidikan perempuan, baik dari kalangan miskin maupun atas, serta reformasi sistem perkawinan, yakni menolak poligami yang dianggap merendahkan perempuan. Namun dalam buku ‘Panggil Aku Kartini Saja’ yang ditulis oleh Pramoedya tergambar bahwa gagasan dan cita-cita Kartini lebih dalam. Lebih tinggi dan lebih luas daripada sekedar mencerdaskan kaum perempuan dan memperjuangkan monogami (meskipun hal ini sentral dari praktek perjuangan).

Gerakan perempuan saat ini
            Isu kesetaraan gender di era saat tidak lagi menjadi hal yang membutuhkan perjuangan yang berdarah-darah seperti masa dimana perempuan masih dipandang sebelah. Hampir disemua sisi perempuan telah mendapatkan tempat, termasuk dalam hal politik. Perempuan telah mendapatkan 30% untuk mengisi kuota di kursi pemerintahan, disisi lain hal ini seolah menjadi keprihatinan tersendiri untuk perempuan, Karena ternyata perempuan hanya diberi porsi 30% walapun ternyata hal tersebut tidak berjalan efektif. Tidak banyak perempuan yang mau mengambil posisi tersebut, porsi tersebut tidak lantas menjadi ajang perempuan untuk melakukan pembuktian bahwa perempuan berhak mendapatkan lebih dari itu. Hal tersebut seolah cambuk tersendiri bahwa ternyata kesetaraan tidak selalu bisa dilekatkan untuk perempuan manakala perempuan sudah asyik dengan budaya yang di bawa nenek moyang. Setara bukan perkara posisi melainkan kesesuaian peran social yang dikomunikasikan dan tidak dipaksakan, sehingga kemudian tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Tujuan belajar Gender
Berdaya tidak lantas diartikan lebih daripada laki-laki, setara juga tidak selalu semua harus sama. Ada porsi dimana laki-laki dan perempuan bisa disaingkan dan disandingkan dengan porsi yang sama, pun ada hal yang ketika laki-laki dan perempuan disejajarkan bukan lagi kesetaraan yang dipakai, melaikan keadilan. Misal: dalam hal mengangkat-angkat beban yang berat, terkadang kita ‘ngawur’ dan dengan enteng bilang katanya kesetaraan, kalau laki-laki angkat-angkat perempuan juga harus angkat-angkat. Tidak semua hal bisa disamakan, ada hal-hal yang terkait kordati yang menjadi pertimbangan tersendiri. Perempuan memiliki organ reproduksi yang rentan yang juga harus dijaga.. itulah alasan kita belajar gender, yakni untuk belajar saling menghargai dan menghormati, saling mengisi dan bukan saling mendominasi.     

Semoga bermanfaat sekaligus menambah pengetahuan kita













 
-        Hikmah Bafagih dalam tulisannya Sejarah gerakan Perempuan, Juli 2008
-        Annelies dalam tulisannya sejarah gerakan perempuan Indonesia sebelum kemerdekaan
-        Maesur Zaky, MA. Konsep gender, disampaikan dalam Youth training interfaith tahun 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar